Syeikh Nawawi Al-Bantani

Nama Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani sangat terkenal di kalangan masyarakat pesantren di Jawa. Beliau juga dikenal sebagai gurunya para Ulama Indonesia dan merupakan tokoh Ulama besar yang hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Beliau adalah seorang Ulama dan intelektual yang sangat produktif menulis kitab dalam bidang-bidang yang meliputi fiqih, tauhid, tasawuf , tafsir, dan hadits. Nama beliau sering di nisbahkan al Bantani karena beliau berasal dari daerah Banten, Indonesia.
Masa kecil dan Pendidikannya.
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Beliau lahir pada tahun 1230 H atau 1815 M di Kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani). Beliau merupakan keturunan ke 12 Sultan Banten, Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Nasab beliau melalui jalur ini juga sampai kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil, dibawah didikan sang ayah, Umar bin Arabi, seorang ulama di Banten, Imam Nawawi hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Semenjak kecil beliau memang terkenal kecerdasannya, sehingga dengan mudah beliau dapat menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Ketika berusia 8 tahun, ayahnya mengirimkan beliau untuk berguru kepada temannya yang juga seorang ulama Banten, KH Sahal, dan seorang ulama di Purwakarta, KH Yusuf. Konon di usianya yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Beliau mencari tempat di pinggiran pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Pada usia yang ke 15 tahun, beliau berangkat menunaikan haji ke Makkah dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di sana.
Guru - Gurunya.
Selain berguru langsung kepada ayahnya, Syaikh Umar bin Arabi serta KH Sahal dari Banten, dan KH Yusuf dari Purwakarta, di tanah suci Makkah beliau juga berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Makkah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulaweni, Syaikh Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Di antara guru-guru yang paling berpengaruh dalam terbentuknya karakter beliau adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, Ketiganya merupakan Ulama terkemuka di Mekah. Selain itu ada juga dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah.
Kepulangannya ke Tanah Air.
Setelah tiga tahun lamanya beliau menggali ilmu dari Ulama-ulama Makkah, beliau memutuskan kembali ke tanah air. Namun setibanya di tanah air, beliau menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Kondisi seperti ini juga tidak menguntungkan pengembangan ilmunya, karena hampir semua ulama Islam pada saat itu juga mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Hal itu membuat Syaikh Nawawi akhirnya terpaksa menyingkir kembali ke Negeri Makkah dan meneruskan menuntut ilmu di sana. Namun selama masih di tanah air, beliau juga sempat ikut mengobarkan gelora jihad melawan penindasan penjajah Belanda. Beliau juga menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia.
Kembali ke Makkah.
Begitu sampai di Makkah, beliau segera kembali memperdalam ilmunya kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Sampai akhirnya beliau memantapkan hati untuk mukim di tanah suci dan menetap di Syi'ib Ali, Makkah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tetapi makin lama jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Di Makkah, Syaikh Nawawi juga giat menghadiri majelis ilmu di Masjidil Haram. Hingga kemudian seorang imam masjid utama tersebut, Syaikh Ahmad Khatib Sambas Al-Minangkabawi meminta Syaikh Nawawi untuk menggantikan posisinya sebagai Imam Masjidil Haram. Sejak itulah beliau dikenal dengan nama Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi, artinya Nawawi dari Banten, Jawa.

Nama Syaikh Nawawi di Makkah semakin dikenal sebagai ulama yang piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf. Bahkan tidak hanya di kota Makkah dan Madinah saja nama beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Syaikh Nawawi bahkan mendapat gelar al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Selain itu, kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Kefaqihannya dalam ilmu agama pun membuatnya dijuluki Nawawi kedua, maksudnya penerus dari Ulama dunia terkenal, Imam an-Nawawi, seorang Ulama besar dari Damaskus, Syria. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Maha Guru Ulama Indonesia dan Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Disamping menjadi Imam Masjidil Haram, Syaikh Nawawi juga menjadi pengajar dan membuka majelisnya sendiri di Masjidil Haram. Selain itu, beliau juga menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Ketawadhuan Syaikh Nawawi yang disertai dengan kedalaman ilmunya membuat setiap pengajian beliau selalu ramai dipenuhi oleh para pelajar. Bahkan tercatat ada sekitar 200 pelajar yang setia untuk menghadiri majlis ilmunya di Masjidil Haram. Beberapa di antara muridnya merupakan pemuda asal Indonesia, Salah satu muridnya, yakni KH Hasyim Asy'ari pendiri Nadlatul Ulama (NU).
Meskipun bermukim di Makkah, Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Makkah. Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Pemerintah Belanda pun mengutus Snouck Hourgronje ke Makkah untuk menemui beliau. Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa.

Murid - Muridnya.
Murid-murid Syaikh Nawawi datang dari berbagai penjuru dunia. Banyak diantara murid-muridnya yang berasal dari Indonesia kemudian hari juga menjadi ulama besar, di antaranya yaitu K.H. Hasyim Asy'ari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, Syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri Sempur, Plered, Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya. 
Karya - Karyanya.
Syekh Nawawi mengabdikan hidupnya untuk mengajar. Beliau terkenal giat menulis dan menghasilkan banyak karya. Sampai-sampai, banyak manuskripnya disebarkan bebas kemudian diterbitkan tanpa royalti. Sedikitnya, 34 tulisannya juga masuk dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu. Selain itu banyak pula karya beliau yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:

1. al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
2. al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
3. Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
4. BaÄ¥jah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
5. al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
6. Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi MuÄ¥immâh al-Dîn
7. Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
8. Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
9. Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
10. Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
11. al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
12. Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13. Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
14. Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
15. Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
16. Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
17. Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
18. Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
19. Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
20. Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
21. Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
22. Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
23. Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
24. al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-ÃŽmâniyyah
25. ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
26. Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
27. Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
28. al-NaÄ¥jah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
29. Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
30. Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
31. al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
32. al-Riyâdl al-Fauliyyah
33. Mishbâh al-Dhalâm’ala MinÄ¥aj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
34. Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
35. al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
36. Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
37. al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
38. Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.

Dari sekian banyak karyanya, tidak sedikit yang kemudian diterbitkan di Timur Tengah. Universitas Al Azhar Kairo juga pernah mengundang syaikh Nawawi karena karya-karyanya juga digemari kalangan akademisi. Buku-bukunya memang tersebar di Mesir. Di Universitas Islam tertua itu, Syaikh Nawawi menjadi pembicara dalam sebuah diskusi ilmiah.

Di Nusantara, Karya-karya beliau menjadi buku wajb di pesantren-pesantren. Bagi komunitas santri, Syaikh Nawawi merupakan mahaguru yang banyak memberikan ilmu mengenai landasan beragama. Apalagi, ia juga merupakan guru dari sang pendiri NU. Sehingga, tak sedikit yang menyebut Syaikh Nawawi sebagai akar tunjang tradisi intelektual ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Karamah-Karamahnya.

Konon, pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan menggunakan telunjuknya sebagai lampu. Saat itu beliau dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya, maka Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kirinya itu membawa bekas yang tidak hilang.

Karamah beliau yang lain juga diperlihatkannya yaitu saat beliau masih muda sedang mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.

Tak ayal, saat seorang remaja yaitu Imam Nawawi yang belum dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tidak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat. Kemudian Imam Nawawi berkata :

''Lihatlah Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.''

Sayyid Utsmân termangu. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari, remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.

Karamah beliau yang lain terjadi pada saat terjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut.

Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tidak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasadnya pun tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.

Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau kemudian dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Makkah.

Demikianlah di antara karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya sedikitpun tidak merusak jasadnya. Kasih sayang Allah Ta’ala berlimpah padanya. Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang beliau karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah SWT. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan beliau.

Wafatnya Beliau.

Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri lebih dahulu wafat mendahuluinya.  Pengabdian beliau sebagai guru Umat Islam selama kurang lebih 69 tahun telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Makkah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897 M atau ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Makkah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Hingga kini, masyarakat Nusantara, terutama masyarakat Banten, selalu memperingati haul hari wafatnya setiap tahun.
Syeikh Nawawi Al-Bantani Syeikh Nawawi Al-Bantani Reviewed by As'ad on August 16, 2017 Rating: 5

No comments:

Komentar